
Setiap kali Jum’at datang, selalu ada perasaan yang berbeda di hati. Suasana terasa lebih damai, seolah alam ikut melambat, memberi ruang bagi siapa saja yang ingin sejenak menepi dari rutinitas harian yang padat. Di antara bisingnya urusan dunia, hari Jum’at selalu jadi waktu paling pas untuk pulang sejenak ke dalam diri, menata ulang niat, serta mengingat kembali tujuan hidup.
Sejak subuh, Jum’at sudah membawa hawa yang berbeda. Banyak yang memulai hari ini dengan lebih tenang, bahkan ada yang sengaja memperbanyak dzikir dan istighfar. Waktu seperti melambat, dan diam-diam hati jadi lebih mudah diajak berbicara. Seringkali kita terjebak dalam rutinitas tanpa sempat merenungi: “Sudah sejauh apa langkahku? Apakah masih sesuai arah yang diinginkan Allah?”
Allah SWT telah mengingatkan dalam Al-Qur’an:
“Dan Dialah yang menjadikan malam dan siang silih berganti bagi orang yang ingin mengambil pelajaran atau orang yang ingin bersyukur.”
(QS. Al-Furqan: 62)
Setiap pergantian hari, termasuk Jum’at, adalah peluang untuk belajar, bersyukur, dan memperbaiki diri. Kadang, hidup berjalan seperti autopilot, berangkat pagi, bekerja, pulang, dan mengulang hal sama esok hari. Tapi ketika Jum’at tiba, terasa ada yang mengingatkan:
“Sudahkah aku memberi makna pada setiap langkah?”
Ada satu ayat Al-Qur’an yang sering jadi alarm pengingat:
“Setiap yang bernyawa akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan dengan sempurna balasanmu…”
(QS. Ali Imran: 185)
Ayat ini sederhana, tapi sangat dalam. Ia mengingatkan bahwa dunia hanyalah persinggahan, tempat kita menanam benih-benih kebaikan sebelum akhirnya kembali pada-Nya. Di tengah kejaran target dunia, refleksi di hari Jum’at jadi oase yang menyejukkan.
Nabi Muhammad SAW pun menekankan pentingnya introspeksi:
“Orang yang cerdas adalah orang yang menghisab dirinya dan beramal untuk kehidupan setelah mati.”
(HR. Tirmidzi)
Ternyata, refleksi diri bukan tanda kelemahan, tapi bentuk kecerdasan sejati. Jujur pada diri sendiri, mengakui kekurangan, dan berusaha memperbaikinya adalah langkah awal menuju ketenangan jiwa.
Saya pribadi sering menjadikan Jum’at sebagai “hari tenang”. Selepas subuh atau sebelum shalat Jum’at, biasanya saya memilih duduk sebentar, memejamkan mata, lalu berbicara pada hati. Kadang, hanya dengan mengingat hal-hal sederhana seperti ucapan terima kasih pada keluarga, meminta maaf atas kekhilafan, atau sekadar mensyukuri nikmat sehat, hati bisa terasa lebih lapang.
Tak jarang, dalam keheningan itu muncul rasa penyesalan. “Kenapa tadi berkata kasar?” atau “Mengapa melewatkan waktu shalat kemarin?” Namun, hari Jum’at selalu membawa harapan baru, karena Allah membuka pintu taubat selebar-lebarnya untuk setiap hamba-Nya yang ingin memperbaiki diri.
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sampai mereka mengubah keadaan diri mereka sendiri.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)
Ayat ini jadi semacam motivasi untuk tidak berputus asa. Setiap perubahan, sekecil apa pun, adalah proses yang layak dihargai.
Salah satu hal paling saya suka di hari Jum’at adalah semangat berbuat baik. Rasanya, setiap kebaikan yang dilakukan di hari ini terasa lebih istimewa. Mulai dari memberi senyum, membantu orang tua, hingga bersedekah, semuanya membawa suasana hati yang ringan. Rasulullah SAW bersabda:
“Janganlah kamu meremehkan kebaikan sekecil apa pun.”
(HR. Muslim)
Seringkali, kebaikan kecil inilah yang justru membawa kebahagiaan tak terduga. Bahkan, Allah bisa saja membalas dengan berkah besar di hari-hari berikutnya.
Hari Jum’at juga jadi pengingat bahwa kita bukan manusia sempurna. Ada saja salah ucap, khilaf, atau hal-hal yang belum bisa diperbaiki. Namun, justru di hari inilah kita diajak untuk berdamai dengan diri sendiri, menerima kekurangan, dan terus berproses menjadi pribadi yang lebih baik.
Tak perlu menunggu masalah besar untuk mulai refleksi. Kadang, merenung di sela kesibukan, atau saat menatap langit biru selepas hujan di hari Jum’at, sudah cukup untuk membuat hati luluh. Segelas teh hangat, percakapan ringan dengan keluarga, atau sekadar duduk sendiri, bisa jadi momen paling bermakna.
Akhirnya, Jum’at adalah hadiah bagi jiwa-jiwa yang ingin pulang. Waktunya membiarkan hati rehat sejenak, mengurai beban, dan menata kembali arah hidup. Nikmati setiap detik hari ini, dan biarkan Allah yang menyempurnakan setiap usaha kita.