
Setiap dosen di Indonesia mengemban amanah besar yang tertuang dalam Tridharma Perguruan Tinggi. Barangkali bagi sebagian orang, istilah Tridharma hanya menjadi jargon yang diulang-ulang di awal masa jabatan atau tertulis di dokumen resmi institusi. Namun bagi mereka yang sungguh-sungguh menapaki dunia pendidikan, Tridharma bukan sekadar kewajiban administratif, melainkan panggilan jiwa yang membentuk makna hidup sebagai pendidik.
Ada sebuah keheningan yang kadang hadir ketika seorang dosen selesai mengajar di penghujung hari. Ruang kelas yang tadi riuh kini kembali sunyi, meninggalkan jejak tanya apakah hari ini sudah memberikan inspirasi, atau sekadar menjalankan rutinitas? Setiap interaksi dengan mahasiswa, tak pernah benar-benar sama. Ada yang tampak antusias, ada pula yang tenggelam dalam lamunannya. Dalam setiap tatapan dan pertanyaan mereka, dosen seperti melihat cerminan diri sendiri di masa lalu; seorang pencari makna di antara tumpukan teori dan praktik.
Menjadi dosen berarti bersedia menjalani proses belajar yang tak pernah usai. Dunia berubah cepat, ilmu berkembang dinamis, dan generasi muda menuntut pendekatan yang berbeda. Seringkali, di tengah himpitan administrasi, target publikasi, hingga tuntutan akreditasi, dosen justru dihadapkan pada tantangan untuk tetap menjaga integritas sebagai pendidik sejati. Mungkin kita bertanya, “Apakah penelitian yang saya lakukan benar-benar bermanfaat? Sudahkah pengabdian saya sampai pada mereka yang membutuhkan?” Pertanyaan-pertanyaan sederhana ini, justru yang kadang menjadi sumber refleksi terdalam.
Dalam menjalankan penelitian, tak jarang dosen terjebak dalam perlombaan angka berapa publikasi di jurnal internasional, berapa hibah yang berhasil didapat. Tapi jauh di balik itu semua, riset adalah upaya untuk mencari jawaban, memahami, dan kadang, menerima bahwa tak semua hal harus sempurna. Riset juga mengajarkan kerendahan hati, karena ilmu pengetahuan sejatinya terus berkembang dan tak pernah final. Di balik layar laboratorium, di antara tumpukan referensi dan data, seorang dosen merenungi: “Untuk siapa semua ini dikerjakan?” Jika jawabannya kembali pada kebermanfaatan, di situlah letak keikhlasan.
Pengabdian kepada masyarakat adalah jalan lain yang menuntut kebesaran hati. Tak melulu soal program-program besar, kadang justru dari percakapan sederhana di desa, dari pelatihan kecil bersama ibu-ibu PKK, atau dari bimbingan remaja di kampung, seorang dosen belajar tentang kebijaksanaan. Pengabdian membuka mata akan realitas yang jauh dari kemewahan kampus; mengajarkan pentingnya mendengarkan, memahami, dan hadir tanpa menghakimi.
Namun, menjalani Tridharma tidak selalu mudah. Di balik semangat yang dikobarkan, sering ada lelah yang tak diucapkan. Jadwal yang padat, tumpukan tugas, ekspektasi institusi, hingga tuntutan keluarga, menjadi bagian dari keseharian. Justru di sinilah pentingnya melakukan refleksi diri menerima keterbatasan, memaafkan kegagalan, dan tetap bersyukur atas setiap pencapaian kecil.
Pada akhirnya, Tridharma bukan sekadar daftar tugas yang harus dilaporkan setiap akhir semester. Ia adalah jalan sunyi, tempat seorang dosen mendewasakan diri, menginspirasi, dan menorehkan jejak kebaikan yang kadang tak terlihat. Jalan ini mungkin tidak selalu ramai, namun selalu ada kepuasan tersendiri ketika mampu melihat mahasiswa tumbuh, riset berdampak, dan pengabdian memberi perubahan nyata.
Maka, mari sejenak menepi dari hiruk-pikuk pekerjaan, dan bertanya pada diri sendiri: “Apa makna Tridharma dalam perjalanan hidup saya sebagai dosen?” Semoga refleksi ini menjadi pelecut semangat untuk terus berkarya, berbagi, dan memberi manfaat seluas-luasnya.